Perubahan 1.5 tahun ini
Akhirnya setelah satu setengah tahun menganggurkan 'space' ini, alhamdulillah ada keluangan dan niat lagi untuk menulis panjang. Semoga tulisan ini bisa selesai dan beneran di-post ya, tidak berakhir hanya sebagai draft blog saja, hehe (meratapi nasib draft-draft yang belum selesai). Terkadang hal-hal yang udah ditulis sebelumnya ga aku lanjutin lagi karena udah hilang 'feel'-nya. Bismillah.
Jadi, 1.5 tahun semenjak terakhir aku update blog ini (November 2020), banyak banget perubahan dalam hidup aku. Mungkin terlalu banyak 😂 Menikah di Januari 2021, pindah ke Jepang (kemungkinan besar 'for good') di Juni 2021, mulai kuliah S2 di September 2021, resign dari kantor lama di November 2021, dan hamil. Untuk yang terakhir ini aku gatau juga apakah harus diumumin atau gimana, tapi berhubung ga banyak yang baca blog ini, jadi ditulis juga gapapa kali ya 😆
Yaa, jadi begitulah hidupku 1.5 tahun kebelakang, yang kalau dipikir-pikir, too much to handle sebetulnya dan bahkan untuk aku yang 'merasa' punya kepribadian santai pun ternyata overwhelmed sih menjalani semua itu. Yang kalo dilihat-lihat, lumayan life-changing juga ya semuanya, haha. Meskipun sekarang alhamdulillah udah mulai tenang dan bisa dibilang sudah beradaptasi lah dengan kehidupan baru. Awalnya aku pengen tulis masing-masing peristiwa itu dalam tulisan sebagai bahan renungan, tapi apa daya niat tidak terkumpul. Jadi, sekarang pengen merangkum aja perubahan apa yang terjadi dalam diri aku setelah melalui semua hal di atas.
1. Lifestyle
Ini adalah perubahan yang pasti sih, apalagi untuk orang yang sudah menikah dengan menyesuaikan lifestyle sebelum dan setelah menikah. Untuk kasus aku, lifestyle berubah drastis karena menikah DAN pindah ke luar negeri (Jepang). Dan jujur, itu sama sekali ga mudah 😢 Aku harus adaptasi dengan manusia baru dalam hidupku (baca: suami), yang biasanya apa-apa sendiri sekarang harus berbagi segala hal, termasuk the most private space (🙃) dengan orang baru tersebut. Menangislah jiwa introvert aku wkwkw. Dan memang private space yang kita punya kamar karena aku dan suami tinggal bersama ibu suami (mertua aku) di apartment Jepang yang seuprit ini, hehe. Sangat-sangat menantang.
Ditambah dengan perubahan dari hidup di Indonesia ke hidup di Jepang. Di awal, sama sekali ga ada bayangan gimana harus menjalani kehidupan di Jepang. Harus makan apa, belanja di mana, biaya hidup berapa, boro-boro mau budgeting deh. Bulan-bulan pertama di Jepang, amblas lah semua, beli ini itu, pergi sana-sini, sampai suami shock, kayanya dia mikir 'ternyata istri gue boros' 😔 Terus perlahan mulai eksplor berbagai supermarket, tempat belanja, berusaha naik sepeda instead of kereta (sampai hamil), menahan keinginan impulsif (ini penting!) dan mulai mencoba memahami apa yang essential (kebutuhan primer, sekunder tersier) dalam konteks hidup di Jepang dan sesuai dengan value keluarga baru (aku dan suami).
Perubahan lifestyle adalah perubahan pertama yang kena banget di mental aku sih. Awal-awal tinggal di Jepang, sering banget sedih meratapi nasib, ya Allah gini amat kok ya hidup aku... gitu 🙃 setiap hari survival mode aja pokoknya. Dan jujur, aku belum menemukan lifestyle yang stabil, tapi it's okay, hidup kan berubah terus, begitu pula manusianya.
2. Attitude, habits, personality?
Personality-wise, aku ga terlalu berubah sih dan memang mengubah kepribadian dan kebiasaan yang sudah melekat kuat itu susah banget ya. Dan tentunya dengan menikah, clash antara dua kepribadian yang berbeda, yang dibesarkan dari keluarga dan kebiasaan yang berbeda, pasti tidak terhindarkan. Begitu juga dengan aku dan suami. Seperti kata sejuta umat, kuncinya komunikasi dan alhamdulillah aku dikasih partner yang paham akan hal itu. Justru aku yang di awal agak susah membuka diri untuk berkomunikasi, hehe. Dan seiring berjalan waktu, meskipun mengubah pribadi itu sangat susah, aku merasa kita berdua setidaknya sudah semakin baik 'dan sabar' dalam menyikapi personality dan habit masing-masing (insyaa Allah). Yang tentunya masih sangat jauuh dari ideal, tapi yang penting kita punya growth mindset, memahami bahwa pasangan bukan manusia sempurna (apalagi diri kita sendiri) dan ada keinginan untuk memperbaiki diri.
Habit-wise, kalau kebiasaan yang sangat mendasar ga banyak berubah. Tapi tentunya Anisah yang sekarang, bukanlah Anisah yang dulu. Rasanya pas masih gadis, ga kebayang kalau di masa depan Anisah akan bisa masak kare, ayam kecap, mapo tofu, wkwkwk. Ditambah harus cuci, jemur, lipat baju; cuci piring; beresin rumah; wah, prestasi banget tuh. Tapi ternyata setelah dijalanin, ternyata bisa juga ya 😂 Emang kalau udah survival mode, semua hal jadi mungkin kok.
3. Vulnerability
Sebetulnya ga tahu juga bagaimana membahasakan ini dengan betul, being vulnerable (khususnya dalam relationship). Mungkin belajar menjadi lebih ikhlas, ridha, tawakkal, atau pasrah? 🤠Aku memulai pernikahan dengan zero ekspektasi, menikah dengan orang yang baru ketemu dua kali, WNA pula. Cuma tahu akan tinggal ke Jepang (maybe for good) dan sisanya gelap, haha. Dan begitu semuanya terjadi, banyak banget hal-hal tak terduga datang yang pada akhirnya 'memaksa' aku untuk menjadi lebih fleksibel akan semua kemungkinan. Being vulnerable and expect the unexpected.
Being vulnerable ini tentunya paling besar porsinya aku ke suami. Aku yang tadinya hidup udah mulai stabil, punya pekerjaan dan penghasilan, punya beberapa planning ke depan juga (makanya mulai mantap untuk proses menikah), tiba-tiba hidupnya jungkir balik 180 derajat 😂 Tentunya semua keputusan itu diambil dengan penuh kesadaran dan juga hasil istikharah, berdoa ke Allah SWT, tapi ga lantas semuanya berlangsung mulus kan ya. Begitu datang menyusul suami, aku jadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan (kerja remote sih tapi gaji rupiah ga bisa dipakai wkwk), keterima S2 tapi ga dapat beasiswa (yang akhirnya kuliah dengan beasiswa kasih sayang a.k.a. dibayarin suami), belum ada akses finansial dan knowledge untuk bertahan hidup di negara asing (sekali pun itu Jepang). Yang pada akhirnya aku sangat sangat sangat bergantung pada suami, financially, physically and mentally. Menerima kenyataan kalau aku emang ga bisa mandiri, aku butuh suami, dan being vulnerable seperti itu sangat memudahkan hidup secara mental ya. Kayanya hari-hari jadi lebih legowo dan ringan aja gitu, meskipun beban kerja ga menjadi ringan ya, hehe.
Being vulnerable juga tentunya secara spiritual dan ini yang jadi fondasi sih sebetulnya. Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Allah SWT tidak akan memberi cobaan kepada hamba-Nya di luar kemampuannya. Klise tapi emang bener siih. Hidup dengan penuh sabar dan syukur, seimbang antara ikhtiar dan tawakkal. Wkwk, lama-lama bisa jadi tausyiah ini mah.
***
Ya kira-kira begitu lah perubahan dalan 1.5 tahun ini. Sebetulnya secara fisik ataupun kepribadian ga terlalu banyak yang berubah sih, tapi cara pandang aku terhadap hidup yang banyak berubah kayanya. Semoga ke arah kebaikan ya 😊
Comments