Dari Penjara sampai PNS (What I feel about recent issues)

A lot of things happened in a week. I mean, in this era of information flooding over us, impossible to avoid yourself from hearing issue, both in good and bad way. So, I just want to make a quick recap about what I feel about our world recently.

Pertama, soal episode Mata Najwa terbaru, Pura-Pura Penjara. Kalo belum nonton, gue saranin kalian tonton di channel yutub Mba Nana because it's mind-blowing. 
Gue udah liat kisi-kisinya dari ig Mba Nana, so I was like "wah, harus banget nonton ini" sehingga TV yang bisa default tersetel di tvN, untuk malam rabu kemarin sengaja dipindah ke trans7. Gue nonton acranya dari awal sampai akhir dengan perasaan nano-nano (wk, entah kenapa lagi suka kata ini karena pas banget menggambarkan hati gue yang gampang terombang-ambing (?)). Di satu sisi kasian, tapi inget kalo mereka tuh melakukan kejahatan pada negara, jadi gemes juga. Yang paling bikin elus dada adalah gap antara orang berduit dan orang ga punya bahkan terlihat juga di penjara. Ada yang kamarnya baguuus banget, dimodif kata kamar apartement aja (tapi versi mini) dan segala fasilitas pribadi kaya gadget yang mereka bawa sendiri. Dan ketika dibandingkan dengan kamar napi biasa, ya Allah jauh bangeeet. Parah banget, kaya ga layak dihuni manusia gitu, apalagi posisi kamar mandinya yang cuma bolongan doang PERSIS DISAMPING TEMPAT TIDURNYA. :"( #findingjustice
Jadi mempertanyakan disiplin petugas penjaranya sih ini mah. Penjara tuh dijaga oleh para pegawai teknis yang ga heran kalo mereka akan dengan mudah akan abai dengan peraturan jika ditawarkan uang, mungkin beberapa lembar saja? Integrity problem comes up here. Esensi penjara adalah mengambil kebebasan dari si penjahat. kalo kaya gini, kebebasan mana yang diambil? apa gue harus ikutan hashtag #2019gantirakyat? heheh. Menurut gue untuk orang yang butuh menumpahkan pemikirannya, bisa dikasih perpustakaan di penjara, tempat mereka bisa bekerja kalau memang dibutuhkan. Bukan dengan mengizinkan segala kebebasan mereka bertebaran di dalam sel penjara. Tapi kalo dipikir-pikir, penjara itu dioperasikan dengan uang negara, berarti semua orang yang ada didalam penjara tuh tanggungan negara. Semakin banyak penjahat yang dipenjara, berarti semakin banyak pengeluaran negara buat menyokong kehidupan para penjahat ini? Wait, jadi pusing.


Kedua, soal Mesut Özil yang keluar dari Timnas Jerman. Heboh juga nih diantara para fans Jerman dan akhirnya dibahas juga di video Mba Gitasav. Sedih juga sih dengan beberapa isu rasisme kaya gini. Ternyata masih banyak orang yang diperlakukan tak adil kaya gini. Dan bagusnya dia speak up, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk jadi pelajaran buat orang lain. 
Gue sendiri ga pernah ngalamin hal kaya gini. Eh, pernah deng dulu banget pas kecil. Lebih tepatnya dibully sih pas di Jepang dulu. Sebenernya yang jahat cuma satu anak aja, dia emang suka bilang gue 'gaijin' which means 'orang asing' dalam bahasa Jepang. Tapi klimaksnya adalah dia ngatain makan siang gue kaya 'kotoran' (karena ga semua menu makan siang dari sekolah bisa gue makan, jadi gue selalu bawa bekal masakan ummi dari rumah). Gue juga udah lupa kronologisnya gimana dan apa yang gue rasakan saat itu, tapi yang masih gue inget adalah akhirnya saat itu juga gue samper wali kelas gue (yang selalu makan bareng di kelas) dan gue lapor ke dia kalo makanan gue dikatain. Akhirnya guru gue marahin dia dan dia berhenti ngatain gue sejak saat itu. Yeah, it's important to stand up for yourself. Dan alhamdulillah, gue belum pernah mengalami hal tidak enak sampai sekarang (atau gue yang ga sadar, wkwk). Tapi menurut gue penting untuk punya that feeling of self worthiness, power to stand up for yourself, apalagi wanita ya.


Ketiga, tentang overheard gossip ringan di kantor tentang Konser Syahrini yang harga tiketnya 25 juta. WHAT. Sefenomenal Celine Dion aja ga nyampe 10 juta ga sih tiket konsernya. Entah kenapa, jadi emosi wkwkwk (ya Allah nis ga penting banget ya). Ya ampun, tapi ga penting banget ya ngurusin orang gini. Biarin lah mereka mau ngapain dan bikin sensasi apa, yang penting ga ganggu hidup gue aja, daripada bikin cape hati.


Terakhir, dari hasil ngobrol sama Masi dari antah berantah sana (engga deng, dia lagi jadi PM di Konawe sana). Tentang budaya hidup orang disana. Yang gurunya ga ada komitmen ngajar, padahal udah PNS dan digaji pemerintah. Yang PNS-nya masuk jam 9 dan pulang sebelum siang (?). Trus kegiatan mereka apa dong, "Yaa, cuma duduk-duduk nongkrong, kumpul di rumah yang ada TV-nya. Ngopi-ngopi, ngobrol. Trus dateng ke pesta tiap ada hajatan." Wow. "Trus mereka ga ada motivasi untuk bekerja, melakukan sesuatu gitu?" "Iya, ga ada kali ya. Tempo kehidupannya tuh santai banget" *kemudian speehless*
Di satu sisi, ide tentang kehidupan yang dimiliki orang-orang yang tinggal di daerah itu (terutama desa, kampung, or whatever you call it) sederhana banget. Mereka tuh sudah senang dan puas hanya dengan duduk-duduk, bersantai, kumpul dengan keluarga, teman, dan seterusnya. Mereka juga bukan tipe rakus, haus harta tahta, karena... yaa... kurang ambisi. dan semua yang mereka butuhkan tersedia dan terbeli.
Tapi itu juga membuat mereka kurang ambisius (in a good way) yang motivate mereka untuk bekerja (paling sederhana) dan berkontribusi untuk masyarakat, melayani kebutuhan orang lain. Wajar kalau pendidikan masih terbelakang, karena bisa baca gajadi prioritas buat mereka, yang penting anaknya mau bisa berkebun. Mentalitas seperti itu ya yang kurang (apa gue harus tambahin #2019gantirakyat lagi? hehe). Setelah denger cerita Masi, jadi ngerasa banget sih kalo pada akhirnya kita ga heran di daerah tuh susah majunya, karena mindsetnya aja belum ada. Mau sebagus apapun kebijakan pemerintah, tapi ga ada orang yang menjalankannya. Dan kebayang bedanya dengan Jakarta yang mostly orang yang punya determinasi dalam berkarir dan berkontribusi.
Berarti sebenernya program pemerintah tentang Revolusi Mental tuh bagus banget, kalo emang beneran direalisasikan sampai ke akar-akarnya. Susah ya.... jadi presiden Indonesia :"(
Dan hal kaya gini baru kerasa kalo kita beneran tinggal di daerah, yang faktanya jarang ada orang yang mau 'mengorbankan dirinya' memperbaiki daerah karena anak muda zaman sekarang justru berbondong-bondong ingin tinggal di ibu kota *tunjuk diri sendiri*. Susah yaaa...jadi gubernur di Indonesia. Berarti betapa mulianya kepala daerah yang emang punya niat baik untuk membawa perubahan bagi daerahnya. Makanya pilih orang baik ya, jangan golput :")


Oke, sekian dulu racauannya karena lagi butuh ngerapihin otak. dan sekarang gue butuh tidur karena besok mulai agenda pagi :") bye!


Comments

Popular posts from this blog

Singapore in 3D2N Part 2 : Itinerary

Pengalaman Ikut Test JLPT!

Testimoni Hamil dan Melahirkan