Dia seorang bapak tua yg sering aku lihat. Di perjalananku kembali ke kosan, jika aku pulang agak malam. Bapak itu tampaknya bukan pengemis. Dia hanya berdiri di depan rumah pagar hijau dengan tongkat dan segala barang bawaannya dalam tas selempangan. Dia tidak mengajak orang untuk ngobrol ataupun ngomong sendiri. Mukanya selalu menunduk, miring ke kiri dan memakai topi, aku tidak pernah bisa melihat mukanya.
Bapak tua itu selalu berhasil mengundang simpatiku. Penampilannya lusuh membuat ku yakin, dia butuh pertolongan. Tapi entah kenapa, aku selalu takut hanya untuk sekedar mendekat. Terlalu banyak asumsi dan prediksi mungkin. Akhirnya bapak tua menjadi pemandanganku sehari-hari.
Suatu hari, aku membeli makan malam di bapak nasi uduk langganan deket kosan. Ketika aku sedang menunggu pesanan, salah satu abang nasi uduk datang menggandeng seseorang. Bapak tua itu. Diajak duduk lah bapak tua yang sering aku lihat itu, lalu bapak pemilik nasi uduk segera menyiapkan alas untuk bapak tua itu duduk. "Bapak kenapa? Sakit?" Bapak nasi uduk segera menyiapkan piring, menyediakan makan, dam memberikannya ke bapak tua. Aku yg berada di tempat,  termenung. Terlalu terharu dengan apa yg aku lihat. Melihat bapak itu makan dengan lahap, aku jadi ingin menangis.
Kenapa aku terlalu berpikir panjang dalam membantu orang? Kalah sama bapak nasi uduk? Aku belum punya cukup keberanian ternyata.

Comments

Popular posts from this blog

Singapore in 3D2N Part 2 : Itinerary

Pengalaman Ikut Test JLPT!

Testimoni Hamil dan Melahirkan